Sabtu, 14 Maret 2015

Perbedaan dalam Islam

Satu kelompok Islam menentukan 1 Syawal jatuh pada hari ini. Golongan yang lain telah lebih dulu melaksanakan shalat Ied karena menganggap bahwa 1 Syawal telah jatuh pada hari sebelumnya.

Lantas, golongan mana yang benar?

Sumber Perbedaan antarUmat Muslim

Adalah suatu kewajaran apabila muncul perbedaan golongan dan kelompok dalam Islam. Perbedaan merupakan sebuah kewajaran, sunatullah, yang tidak dapat dihindari. Selama perbedaan tersebut terletak pada masalah cabang, bukan masalah yang bersifat pokok, seperti akidah.

Terdapat dua ruang ilmu dalam ajaran Islam. Ushul yang berarti pokok atau mendasar dan furu' yang berarti cabang. Antargolongan Islam, tidak ada perbedaan pada konteks yang bersifat ushul. Perbedaan pada wilayah ushul berarti telah terjadi penyimpangan.

Dalam masyarakat Islam, perbedaan yang terjadi berada pada ruang furu'. Perbedaan pada wilayah furu' merupakan kewajaran karena memang tersedia ruang untuk terjadi perbedaan. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya ayat Alquran atau hadist yang dijadikan landasan suatu hukum yang bersifat multitafsir, atau karena perbedaan pendapat mengenai sah/tidaknya suatu hadist. Contoh kasusnya adalah ayat mengenai batal/tidaknya wuhdu ketika menyentuh lawan jenis.

"Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)." (Qs al-Maidah/5:6)

Imam Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh pada ayat tersebut bermakna harfiah, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat pengertian menyentuh di sana berarti melakukan hubungan suami-istri. Kedua pendapat tersebut didasari pada ijtihad yang mendalam oleh para ahli tafsir dan ulama besar.

Tugas kita sebagai pihak yang lebih sedikit ilmunya adalah mengikuti hukum yang menurut kita, alasan penetapannya paling tepat, atau mengikuti ulama yang kita anggap lebih lengkap ilmunya. Begitu pula pada kasus penetapan awal bulan Syawal yang disinggung di awal tulisan.


Perbedaan pendapat telah terjadi sejak masa hidup Rasulullah saw.

Seperti yang dituliskan dalam Shirah Nabawiyah, sebelum perang Uhud, Rasulullah saw menggelar musyawarah militer. Dalam musyawarah tersebut beliau mengusulkan kepada para sahabat agar tidak perlu keluar Madinah, cukup bertahan di Madinah. Namun, sekumpulan sahabat menyarankan untuk menghadapi pasukan Quraisy di luar Madinah. Akhirnya Rasul saw mengabaikan pendapatnya sendiri dan menyetujui pendapat mayoritas untuk bertempur keluar dari Madinah.

Hal ini menunjukkan betapa Rasulullah saw menghargai perbedaan pendapat dan diselesaikan dengan musyawarah mufakat.

“Pernah ada dua orang bepergian bersama. Ketika dalam perjalanan, datanglah waktu shalat, namun mereka tidak mendapatkan air. Mereka pun tayammum dengan tanah yang suci, lalu shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air, sedangkan waktu shalat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu lalu mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Setelah pulang, mereka datang dan menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kejadian yang mereka alami. Rasulullah berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, ‘Kamu telah mengikuti sunnah dan shalat yang kamu lakukan telah cukup bagimu.’ Sedangkan kepada yang mengulangi wudhu dan shalatnya beliau berkata, ‘Kamu mendapatkan dua pahala.'” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan oleh syaikh al-Albani)

Syaikh Ibnu Baz menjelaskan maksud dari hadits ini adalah, orang yang tidak mengulangi shalatnya telah melakukan suatu yang benar karena telah mencukupkan dengan kemampuan yang ada (ketika tidak ada air). Adapun orang yang mengulangi shalatnya melakukan ijtihad. Dan maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mendapat dua pahala adalah pahala dari shalatnya yang pertama dan yang kedua adalah dari ijtihadnya untuk mengulang shalatnya yang ia maksudkan untuk mengikuti sunnah Nabi.

 Menyikapi perbedaan 

Sebelum kita menghakimi suatu perbedaan, ada satu hal yang harus diingat. Bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.

"Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR Muslim)

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al Hujuraat 10]

Pernah melihat dua saudara berbeda pendapat? Perbedaan itu akan diselesaikan dengan pengertian dan kesabaran. Jika akhirnya tetap berbeda, maka perbedaan tersebut tidak menjadi sumber perpecahan. Toleransi menjadi jalan keluar bagi keduanya.

Bila terdapat kasus dua saudara bertengkar akibat perbedaan pendapat, hal itu disebabkan kurangnya pendidikan yang mereka peroleh. Sama halnya dengan sesama muslim yang suka bermusuhan dan saling mencela.

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran” (HR Bukhari & Muslim)

Beberapa di antara kaum muslim yang sering menimbulkan perpecahan adalah mereka yang menggunakan ayat-ayat mutasyaabihaat untuk mencari-cari kesalahan muslim yang lain. Al Quran memiliki ayat-ayat muhkamaat yang memiliki tafsir yang jelas dan tegas artinya sehingga mudah dimengerti, serta ayat-ayat mutasyaabihaat, yang bersifat multitafsir, sulit dipahami, atau hanya Allah yang mengetahui artinya.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara isi nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]
Dengan bekal tafsir versi golongannya, mereka dengan mudah menista ummat Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bid’ah, dan sebagainya.
Hal ini adalah akibat dari rendahnya ilmu serta kefanatikan golongan atau ashobiyah. Sifat ini menyebabkan suatu golongan menciptakan barier atau penghalang antara mereka dengan kelompok selain mereka. Sehingga mereka menolak semua pendapat dari kelompok selain mereka, walaupun terdapat kebenaran

Sesungguhnya Allah itu jamil (indah) dan menyukai suatu yang indah. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim )

Padahal ulama-ulama besar Islam yang kita kenal menjunjung tinggi ukhuwah sesama muslim dalam menghadapi perbedaan. 
Salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Imam Malik pernah berkata:
“Aku ini hanyalah manusia biasa,” tukas Malik, “yang bisa benar dan bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkan.”
Selain itu, Imam Syafi'i juga pernah berkata:
Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.
Kebesaran hati yang ditunjukkan ulama-ulama tersebut merupakan bentuk kesadaran bahwa manusia tidak lepas dari kesalahan dan kebenaran mutlak hanya milik Allah. Selain itu, mereka mengedepankan persatuan umat muslim yang merupakan saudara satu sama lain, serta menghindari perpecahan.

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara." (QS Ali Imran:103)

Lantas, apa yang harus dilakukan ketika kita berbeda pendapat?

Pertama, cari titik temu. Perbedaan harus diselesaikan dengan kepala dingin dan hati yang bersih. Tidak terburu-buru, tidak ada kesombongan ataupun ashobiyah, dan dengan niat ikhlas semata-mata mencari rahmat Allah.  

"Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka," (QS Shad:82-83).

Kedua, hindari debat kusir. Apabila harus berdebat, maka debatlah dengan cara yang baik. Namun bila perdebatan akan atau telah mendekati pertikaian, maka tinggalkanlah.

Serulah (manusia) ke jalan Rabb mu dengan hikmah dan penuh nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125)
  
nasihat Imam Syafi'i:  “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati”

Terakhir, jangan terlalu cepat menghakimi orang lain. Karena sesungguhnya kita tidak tahu apa yang ada dalam hatinya. Setiap masalah harus diklarifikasi ke pihak yang bersangkutan.

“Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?” (HR. Muslim)

*****

“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan hasil ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim dari ‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah)

Perbedaan adalah suatu keniscayaan. Terdapat dua jalan bagi sesama muslim dalam menyelesaikannya. Untuk bersepakat dalam kebenaran atau bertoleransi dalam perbedaan.

Bila Allah saja menghadiahi yang salah dengan satu pahala, masih adakah hak kita untuk mencela mereka yang berbeda?

Sabtu, 17 Januari 2015